Kamis, 20 Desember 2012

Hak Anak dari Orangtua



Anak adalah amanah. Anak lahir dalam keadan suci, orangtualah yang akan membuat hidupnya berwarna – warni laksana pelangi atau hanya berwarna hitam. Salah satu hal yang terpenting terhadap pendidikan anak adalah bagaimana kita bisa memahami dan berempati dengan mereka. Salwa Yusuf Al Muayyad dalam bukunyanya yang berjudul Ibni La Yakfi an Uhibbak, memberikan gambaran bagaimana kita mendidik anak. Beliau memberikan gambaran sebagai berikut, dalam suatu “Pelatihan Seni Menjadi Ayah Hebat”, seorang ahli pendidikan memanggil tiga orang dari peserta untuk menjawab beberapa pertanyaan dari ahli pendidikan.
Ahli pendidikan bertanya:” Suatu pagi, Anda semua sedang menyiapkan sarapan untuk suami Anda masing – masing. Tiba – tiba telepon berdering, anak Anda menangis dan roti bakar yang sedang Anda siapkan untuk suami hangus. Pada saat bersamaan suami Anda berkomentar dengan mengatakan: ”Kapan kamu akan belajar memanggang roti tanpa menghanguskannya?”.” Bagaimana reaksi Anda ?”
Ibu pertama : ” Langsung saya lemparkan roti itu kemukanya”
Ibu ke dua : “Bangun dan bakar sendiri rotinya”
Ibu ke tiga : “Komentarnya itu melukai perasaan saya dan saya akan menangis”
“Lalu bagaiman perasaan Anda terhadap suami Anda?” Ahli pendidikan melanjutkan pertanyaannya.
Ketiganya menjawab : “Marah, benci dan merasa di dzalimi”
Ahli pendidikan bertanya lagi :”Mudahkah bagi Anda untuk menyiapkan roti bakar lain untuknya?
Serempak ketiganya menjawab: “Tentu saja tidak”
“Jika suami Anda pergi bekerja, akan mudahkah bagi Anda membereskan rumah dan berbelanja kebutuhan sehari – hari dengan lapang dada?” sambung ahli pendidikan
Ibu pertama : “Tidak, saya akan merasa sumpek sekali sepanjang hari”
Ibu kedua : “Tentu saja tidak. Saya tidak akan membeli apapun untuk keperluan rumah hari itu”
Ibu ketiga : “Saya akan merasa sesak dalam menjalankan kewajiban -  kewajiban saya”
Kemudian ahli pendidikan menyatakan : “Katakanlah bahwa roti itu memang hagus. Akan tetapi suami Anda mengatakan kepada Anda: “Tampaknya pagimu melelahkan. Telepon berdering, anak menangis dan sekarang roti hangus?”. Kira – kira apa reaksi Anda dengan komentar itu.
Ibu pertama : “Saya tidak percaya bahwa yang berbicara itu adalah suami saya”
Ibu kedua : “Saya akan merasa bahagia dan senang”
Ibu ketiga : “Saya akan merasa bahagia dan saya pikir saya akan memeluknya”
Ahli pendidikan bertanya: “Mengapa Anda gembira?. Bukankah anak tetap menangis, telepon berdering dan roti bakar sudah hangus?”
Semuanya menjawab : “Saya tidak akan peduli dengan semua itu”
Ahli pendidikan: “Lalu apa yang berbeda kali ini?”
Ibu pertama : “Saya merasa suami saya baik sekali karena ia tidak mengkritik saya melainkan memahami perasaan saya. Dia berpihak kepada saya dan bukan melawan saya”
Ahli pendidikan : “Jika suami Anda pergi, akan mudahkan bagi Anda untuk melakukan tugas – tugas rumah tangga?
Ibu kedua menjawab: “Saya akan melaksanakan tugas – tugas saya dengan senang hati”
Ahli pendidikan berkata : “Sekarang mari kita bicara tentang suami tipe ketiga. Setelah roti hagus, ia memandang istrinya sambil mengatakan: “Nih saya ajari kamu cara membakar roti”
Semua Ibu serempak menjawab: “Tidak. Suami macam apa itu. Lebih buruk lagi daripada yang pertama sebab ia menggangap saya dungu”
Saat itu ahli pendidikan mengatakan : “Bagaimana kalau perlakuan suami Anda terhadap Anda itu dilakukan pula kepada anak Anda?”
Tanpa kita sadari, kita suka mengatakan pada anak – anak kita, “Kapan kamu akan melakukan sesuatu dengan benar?”, “Nih saya tunjukkan kepadamu bagaimana melakukan hal yang benar!”. Padahal kita sendiri tidak suka apabila hal itu menimpa kita semua. Kita sering mengkritik, membandingkan, menolak dan merendahkan diantara anak – anak kita. Bukan rasa percaya diri yang tumbuh, bukan pula kemandirian, bukan pula kreatif tetapi perasaan seolah – olah selalu salah dimata orang tua, selalu kalah dengan saudara lainnya, dan selalu menjadi yang terakhir. Itulah racun – racun dalam mendidik anak.
Orang dewasa pun juga tidak suka apabila sering mendapat kritikan, selalu dibandingkan, selalu direndahkan dan selalu ditolak. Akan muncul perasaan apatis, pasif bahkan cuek terhadap keadaan sekeliling. Anak – anak pun sama tidak suka bila selalu dikritik, selalu dibanding – bandingkan dan selalu direndahkan dimata saudara nya atau didepan taman – temannya. Orang dewasa ataupun anak – anak sama, bahwa mereka membutuhkan pengertian, empati, merasa diorangankan. Oleh karena itu, kita harus memberikan hak anak kita agar mereka dapat berkembang secara alami.
Memahami dan berempati kepada anak bukanlah sikap yang berlebihan, karena dengan itu kita akan mudah memahami kondisi kejiwaa anak. Anak akan merasa dihargai. Dalam menjalani kehidupan anak merasa ada tempat untuk berpulang bila menemui permasalahan. Sebaliknya apabila sikap kita sebagai orang tua yang selalu mengkritik, membandingkan, menolak dan merendahkan anak, maka akan mematikan jiwa anak sejak ia masih anak – anak.
Kapan kita bisa menjadi teladan yang sejati buat anak?. Sejak kita bisa memahami dan berempati dengan anak. Semua diawali dari keluarga, orangtua adalah guru pertama dalam kehidupan anak. Dengan cara menghidupkan taklim keluarga, cari waktu yang semua anggota keluarga bisa berkumpul. Forum seperti itu selain sebagai ajang bertemunyan semua keluarga, juga sebagai wadah untuk musyawarah keluarga. Walaupun hanya sebentar, tetapi kalau dilakukan secara intens maka akan berdampak luar biasa pada diri tiap anggota keluarga. Dan semua bisa melakukannya, syaratnya hanya kemauan. Kemauan untuk melakukannya. Sesibuk apapun tugas orang tua sebagai pencari nafkah, luangkan waktu untuk keluarga, ambil perhatian penuh dengan forum tersebut. Maka tidaklah berlebihan kalau kita bisa bersemboyan keluargaku adalah surgaku.by sakura*sukses selalu*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan jika ingin memberi saran atau masukan. Nuwun