Anak
adalah amanah. Anak lahir dalam keadan suci, orangtualah yang akan membuat
hidupnya berwarna – warni laksana pelangi atau hanya berwarna hitam. Salah satu
hal yang terpenting terhadap pendidikan anak adalah bagaimana kita bisa memahami
dan berempati dengan mereka. Salwa Yusuf Al Muayyad dalam bukunyanya yang
berjudul Ibni La Yakfi an Uhibbak,
memberikan gambaran bagaimana kita mendidik anak. Beliau memberikan gambaran
sebagai berikut, dalam suatu “Pelatihan Seni Menjadi Ayah Hebat”, seorang ahli
pendidikan memanggil tiga orang dari peserta untuk menjawab beberapa pertanyaan
dari ahli pendidikan.
Ahli
pendidikan bertanya:” Suatu pagi, Anda semua sedang menyiapkan sarapan untuk
suami Anda masing – masing. Tiba – tiba telepon berdering, anak Anda menangis
dan roti bakar yang sedang Anda siapkan untuk suami hangus. Pada saat bersamaan
suami Anda berkomentar dengan mengatakan: ”Kapan kamu akan belajar memanggang
roti tanpa menghanguskannya?”.” Bagaimana reaksi Anda ?”
Ibu
pertama : ” Langsung saya lemparkan roti itu kemukanya”
Ibu
ke dua : “Bangun dan bakar sendiri rotinya”
Ibu
ke tiga : “Komentarnya itu melukai perasaan saya dan saya akan menangis”
“Lalu
bagaiman perasaan Anda terhadap suami Anda?” Ahli pendidikan melanjutkan
pertanyaannya.
Ketiganya
menjawab : “Marah, benci dan merasa di dzalimi”
Ahli
pendidikan bertanya lagi :”Mudahkah bagi Anda untuk menyiapkan roti bakar lain
untuknya?
Serempak
ketiganya menjawab: “Tentu saja tidak”
“Jika
suami Anda pergi bekerja, akan mudahkah bagi Anda membereskan rumah dan
berbelanja kebutuhan sehari – hari dengan lapang dada?” sambung ahli pendidikan
Ibu
pertama : “Tidak, saya akan merasa sumpek sekali sepanjang hari”
Ibu
kedua : “Tentu saja tidak. Saya tidak akan membeli apapun untuk keperluan rumah
hari itu”
Ibu
ketiga : “Saya akan merasa sesak dalam menjalankan kewajiban - kewajiban saya”
Kemudian
ahli pendidikan menyatakan : “Katakanlah bahwa roti itu memang hagus. Akan
tetapi suami Anda mengatakan kepada Anda: “Tampaknya pagimu melelahkan. Telepon
berdering, anak menangis dan sekarang roti hangus?”. Kira – kira apa reaksi Anda
dengan komentar itu.
Ibu
pertama : “Saya tidak percaya bahwa yang berbicara itu adalah suami saya”
Ibu
kedua : “Saya akan merasa bahagia dan senang”
Ibu
ketiga : “Saya akan merasa bahagia dan saya pikir saya akan memeluknya”
Ahli
pendidikan bertanya: “Mengapa Anda gembira?. Bukankah anak tetap menangis,
telepon berdering dan roti bakar sudah hangus?”
Semuanya
menjawab : “Saya tidak akan peduli dengan semua itu”
Ahli
pendidikan: “Lalu apa yang berbeda kali ini?”
Ibu
pertama : “Saya merasa suami saya baik sekali karena ia tidak mengkritik saya
melainkan memahami perasaan saya. Dia berpihak kepada saya dan bukan melawan
saya”
Ahli
pendidikan : “Jika suami Anda pergi, akan mudahkan bagi Anda untuk melakukan
tugas – tugas rumah tangga?
Ibu
kedua menjawab: “Saya akan melaksanakan tugas – tugas saya dengan senang hati”
Ahli
pendidikan berkata : “Sekarang mari kita bicara tentang suami tipe ketiga.
Setelah roti hagus, ia memandang istrinya sambil mengatakan: “Nih saya ajari
kamu cara membakar roti”
Semua
Ibu serempak menjawab: “Tidak. Suami macam apa itu. Lebih buruk lagi daripada
yang pertama sebab ia menggangap saya dungu”
Saat
itu ahli pendidikan mengatakan : “Bagaimana kalau perlakuan suami Anda terhadap
Anda itu dilakukan pula kepada anak Anda?”
Tanpa
kita sadari, kita suka mengatakan pada anak – anak kita, “Kapan kamu akan
melakukan sesuatu dengan benar?”, “Nih saya tunjukkan kepadamu bagaimana
melakukan hal yang benar!”. Padahal kita sendiri tidak suka apabila hal itu
menimpa kita semua. Kita sering mengkritik, membandingkan, menolak dan merendahkan
diantara anak – anak kita. Bukan rasa percaya diri yang tumbuh, bukan pula
kemandirian, bukan pula kreatif tetapi perasaan seolah – olah selalu salah
dimata orang tua, selalu kalah dengan saudara lainnya, dan selalu menjadi yang
terakhir. Itulah racun – racun dalam mendidik anak.
Orang
dewasa pun juga tidak suka apabila sering mendapat kritikan, selalu
dibandingkan, selalu direndahkan dan selalu ditolak. Akan muncul perasaan
apatis, pasif bahkan cuek terhadap keadaan sekeliling. Anak – anak pun sama tidak
suka bila selalu dikritik, selalu dibanding – bandingkan dan selalu direndahkan
dimata saudara nya atau didepan taman – temannya. Orang dewasa ataupun anak –
anak sama, bahwa mereka membutuhkan pengertian, empati, merasa diorangankan.
Oleh karena itu, kita harus memberikan hak anak kita agar mereka dapat
berkembang secara alami.
Memahami
dan berempati kepada anak bukanlah sikap yang berlebihan, karena dengan itu
kita akan mudah memahami kondisi kejiwaa anak. Anak akan merasa dihargai. Dalam
menjalani kehidupan anak merasa ada tempat untuk berpulang bila menemui
permasalahan. Sebaliknya apabila sikap kita sebagai orang tua yang selalu
mengkritik, membandingkan, menolak dan merendahkan anak, maka akan mematikan
jiwa anak sejak ia masih anak – anak.
Kapan
kita bisa menjadi teladan yang sejati buat anak?. Sejak kita bisa memahami dan
berempati dengan anak. Semua diawali dari keluarga, orangtua adalah guru
pertama dalam kehidupan anak. Dengan cara menghidupkan taklim keluarga, cari
waktu yang semua anggota keluarga bisa berkumpul. Forum seperti itu selain
sebagai ajang bertemunyan semua keluarga, juga sebagai wadah untuk musyawarah
keluarga. Walaupun hanya sebentar, tetapi kalau dilakukan secara intens maka
akan berdampak luar biasa pada diri tiap anggota keluarga. Dan semua bisa
melakukannya, syaratnya hanya kemauan. Kemauan untuk melakukannya. Sesibuk
apapun tugas orang tua sebagai pencari nafkah, luangkan waktu untuk keluarga,
ambil perhatian penuh dengan forum tersebut. Maka tidaklah berlebihan kalau
kita bisa bersemboyan keluargaku adalah surgaku.by sakura*sukses selalu*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan jika ingin memberi saran atau masukan. Nuwun